A.N.JELL

A.N.JELL

Senin, 24 Mei 2010

Elegi Cinta Dara

Aku mulai berpacaran dengan Cinta di awal November. Di tengah sejuknya musim hujan dan indahnya pelangi yang menghiasi langit Jakarta, aku menikmati senyum dan perhatiannya di hari-hariku. Aku sangat bahagia mendapatkan gadis jelita yang amat kupuja itu. Senyum lembutnya selalu berhasil menenangkan jiwa lelahku, mendinginkan gelegak emosiku, bahkan membuat kerumitan hidup yang kuhadapi menjadi lebih indah dan berwarna. Cinta adalah melodi di hatiku, penghibur sunyiku, bidadariku, ia memiliki semua yang aku butuhkan. Perhatian lembutnya, kesabarannya menghadapiku, tutur halusnya dan rona wajah tersipunya, semua menyatu sempurna di dalam tubuh ramping indahnya.


Hingga saat itu, awal cobaan hidupku. Cinta mengajakku bertemu di taman kompleks rumahnya. Kami memang sering mencuri waktu kesana, tempatnya tenang, asri, membuat perasaan nyaman. Dan hari itu kami duduk berdua di bangku taman seperti biasa.

“Kamu pernah berhubungan long distance?” Mulailah bibir imutnya membuka pembicaraan.

Aku mengerutkan kening, “Belum! Kenapa kamu tanya begitu?” Aku memandang wajahnya yang bersandar di bahuku, mulai dapat menebak arah pembicaraan.

“Kayaknya mulai sekarang kamu harus belajar begitu sama aku!” Ia mengerjapkan mata bulatnya sayu, “Bulan depan aku akan pindah ke Bandung, ikut orangtuaku dinas disana!”

Aku terdiam, tak bisa membayangkan hari-hariku tanpanya. Pasti akan sangat berat, aku sudah terlalu termanja dengan perhatiannya.

“Tapi tenang aja! Aku akan tetap perhatiin kamu, tetap kontak kamu lewat telepon atau SMS! Aku janji! Bahkan aku pastikan minimal sebulan sekali aku akan temuin kamu! Bandung kan dekat!” Ia tersenyum yakin, seolah dapat membaca kecemasanku. Tapi kurasa ada yang janggal, harusnya aku yang menjanjikan itu.

Aku jadi malu pada diriku yang terlalu manja. Dia selalu bisa mengerti aku, kali ini mungkin aku yang harus mengerti keadaannya. “Iya, aku yakin kok sama kamu! Aku akan menunggu! Bahkan kalo perlu aku yang datang ke Bandung!”

“JANGAAN!” Ia terpekik, sempat membuatku curiga. Selanjutnya ia tersenyum salah tingkah. “Jangan repot-repot maksudnya! Karena setiap sebulan itu keluargaku pasti pulang juga ke rumah lamaku!” Ia sekuat tenaga memberikan penjelasan. “Yang penting kamu janji aja nggak akan lupain aku dan cari cewek lain!” Pintanya.

“Aku janji nggak bakal berpaling ke lain hati, asal kamu juga begitu! Nanti takutnya terpikat sama manisnya cowok-cowok Bandung!” Aku sempat menggodanya dengan senyum jahilku.

“Nggak bakalan kalii! Aku nggak akan mau berpaling dari kamu!” Ia berkata manja. “Nanti aku yang rugi donk!” Timpalnya.

Saat itu kami masih bisa tertawa. Sisanya kami menjalani waktu penghabisan kami selama sebulan dengan berusaha menghabiskan waktu sebanyak mungkin untuk bersama. Kami mengunjungi tempat-tempat yang belum sempat kami kunjungi, kami mengukir kenangan bersama hingga akhirnya tiba saatnya jarak memisahkan kita.

Sebulan awal ia masih begitu perhatian padaku. Walau wujudnya tak dapat kutemui, suaranya selalu dapat menenangkanku dari telepon. Secara rutin pula ia mengSMS, memberi remah-remah perhatian kecil ciri khasnya. Aku pun tak mau kalah, kuberikan perhatian yang lebih dari itu, tentu harga diriku sebagai pria tak membiarkanku untuk kalah dalam hal memberi perhatian. Aku harus memberi perhatian lebih dari apa yang bisa dia beri untukku.

Walau tekadku sudah bulat untuk mempertahankan cinta jarak jauh ini, namun ada kalanya aku jenuh juga. Kadang aku merasa kesepian seperti kebanyakan cowok yang tidak memiliki pendamping. Secara de yure statusku pacaran, tapi secara de facto aku merasa single, tidak ada seseorangpun wanita di sampingku yang menemaniku saat aku membutuhkannya. Dan kelamaan intensitas kontak aku dan Cinta menurun, ia mulai jarang ke Jakarta untuk menemuiku, SMS dan teleponnya berkurang. Ia memang sempat cerita kalau kegiatan kuliahnya di Bandung sana begitu menyita waktu. Aku pun mulai jenuh berinteraksi dengan gadisku itu, dan rasanya Cinta pun tak mempermasalahkan perhatianku yang mulai menurun. Mungkin disana ia juga mulai melupakanku, mungkin juga ia sudah terlalu asyik dengan dunianya, atau malah ia sudah menemukan penggantiku. Sekuat tenaga kupaksa hati ini untuk bertahan dan percaya pada janjinya. Hingga godaan selanjutnya datang di saat yang tepat.

Adara namanya, biasa kupanggil Dara. Ia sebenarnya teman lamaku, bahkan ia juga mengenal baik Cinta pacarku. Namun entah kenapa selalu ia yang ada saat aku membutuhkan perhatian. Selalu ia yang dapat mendengarkan curahan hatiku. Selalu ia yang sabar menemaniku yang kesepian. Ia memberikan perhatian yang aku rindukan, dan tak pelak kebersamaan kami mulai menimbulkan perasaan lebih di hatiku. Sosoknya mulai mempesonaku. Sebenarnya Dara begitu berbeda dengan Cinta, Cinta gadis lemah lembut yang menenangkanku bagai bulan, dan Dara gadis tangguh yang selalu menceriakan sepiku bagai terik mentari…Ia cerewet, namun terkadang bawelnya itu yang membuatku nyaman bersamanya. Sebenarnya aku dan Cinta masih sesekali saling menghubungi, namun perasaanku tak seceria dulu saat mendengar suaranya atau menerima SMSnya, terganggu perasaan bersalah di nuraniku. Dan kuakui, perhatian Cinta memang kurang dari cukup untukku, sekarang ia cenderung cuek, bahkan sering tak ada kabar dalam jangka waktu lama. Hingga aku juga mulai berpikiran negatif tentang Cinta, mulai meragukan kesetiaannya dan merasa wajar jika menduakannya. Tapi aku juga tak tahan menahan perasaan berdosa ini, lalu kuceritakan masalahku pada sahabatku. Dan mereka menasihatiku dengan enteng.

“Santai aja kali! Nggak usah bohongin dirilu sendiri! Salah si Cinta juga, siapa suruh cowoknya dicuekin disini! Mending lu cari yang lain deh, palingan dia juga udah dapet cowok baru di Bandung!”

Aku mulai termakan godaan itu, bagai Adam yang tak kuat dengan godaan buah khuldi. Mulai kulancarkan pendekatan kepada Dara dan ia tak menolak, kubungkam nuraniku yang mengiangkan perasaan berdosa. Aku makin merasa nyaman dengan gadis bersemangat itu, aku seolah menemukan sosok baru, sosok yang menyegarkan dan tak pernah kulihat pada diri Cinta. Hingga suatu hari aku mengungkapkan keinginan gilaku padanya.

“Dara, lu mau nggak jadi pacar gue?” Ucapku mantap.

“Yang bener aja? Lu kan punya cewek Gi!” Itu jawabannya pertama kali. Aku sebenarnya tidak kaget dengan reaksi terkejutnya ini.

“Gue cuma mau jujur dengan perasaan gue sendiri! Karena itu please, tolong lu jujur sama perasaanlu!” Pancingku, ia terdiam. “Lu tahu sendiri Cinta udah kayak ngegantungin gue, gue udah lama tersiksa sama ketidak pastian ini Dar! Gue butuh lu, gue udah terlanjur cinta sama lu, dan gue tahu lu punya perasaan yang sama ke gue! Responlu waktu gue pendekatan nggak menolak, gue tahu lu nyaman bersama gue!”

Ia terdiam, nampak kebingungan di wajahnya. “Gila…ini semua gila! Cinta itu temen gue juga! Mau jadi apa gue? Pengkhianat? Gimana dengan dia?” Ia masih bersikeras.

“Selama dia nggak tahu, kita nggak akan kenapa-kenapa!” Aku tegaskan kata-kata itu dalam-dalam. “Dia nggak boleh tahu soal ini! Ini rahasia kita!”

Akhirnya setelah lama membujuk, kudapatkan jawaban yang kuinginkan dari mulutnya. Ia bersedia menjadi pacar keduaku. Matahari penghiburku.



Cinta datang ke Jakarta, ia menyempatkan diri lagi mengunjungiku. Ia lebih memutuskan untuk menemuiku di taman kompleks itu. Aku heran, padahal biasanya ia dengan riang meminta untuk berjalan-jalan denganku, tapi katanya ia lelah. Di taman itu kami bertemu, dan aku menyadari tubuhnya semakin lama semakin kurus. Wajahnya pucat dan sayu, memang benar kelihatannya ia teramat lelah.

“Kamu nggak apa-apa? Kok kayaknya makin sayu aja? Kamu sakit?” Tanyaku khawatir, mulai merasa bersalah selama ini sempat menelantarkan pacarku itu, lupa untuk memperhatikan keadaannya karena terlalu asyik dengan pacar baruku.

Ia tersenyum lembut, seperti tidak ada apa-apa, menenangkan kekhawatiranku, “Biasalah, capek banget kuliah disana! Tugasnya banyak!” Jawabnya, aku mulai bisa maklum. Awal aku kuliah aku pun merasakan hal yang sama, agak kerepotan memang menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu.

Aku menggenggam tangan lemahnya dan mendapati plester luka dan kapas disana. “Ini kenapa?” Tegurku iseng.

“Kegaret kayu! Hehehehe!” Ia tertawa tengil. “Waktu di kantin kampus!” Tambahnya.

“Dasar kamu nggak hati-hati!” Aku mencolek hidung mungilnya. “Kamu keasyikan perhatiin cowok-cowok di kampus kamu kali, makanya ceroboh gitu!” Godaku.

“Enak aja, udah kubilang aku nggak akan bisa suka sama cowok selain kamu!” Ia menatapku dalam, sinar matanya memaknai setiap kata yang diucapkannya dengan serius. “Aku sudah yakin dan nyaman bersama kamu! Kamu nggak akan terganti dengan siapapun!” Ucapnya tegas. “Gimana dengan kamu?”

Lemparan balik darinya itu membuat nuraniku ciut. Aku gugup karena keseriusannya yang kini menjebakku. “Aku juga…sudah yakin sama kamu! Nggak ada yang lain di hatiku!” Ucapku penuh kebohongan. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahku saat mengucapkannya.



Entah kenapa aku merasa waktu begitu cepat berlalu dari satu kunjungan ke kunjungan berikutnya. Kini rasanya Cinta begitu sering mengunjungiku, padahal jelas-jelas sebulan sekali dulu merupakan waktu yang amat renggang bagiku. Kini aku harus sudah menemuinya lagi, kali ini dirumahnya. Dan lagi, semakin lama waktu berjalan, keadaannya terlihat semakin menyedihkan. Entah mungkin kesibukannya membuatnya lupa merawat dirinya, ia semakin kurus, pucat, dan layu. Kulitnya bila kuamati terdapat banyak bercak merah.

“Kamu kenapa lagi? Kok kelihatannya parah banget? Sakit ya?” Aku mencemaskannya.

“Nggak kok! Aku cuma jadi keteteran aja hidupnya karena kuliah!” Jelasnya dengan senyum khasnya yang menenangkan.

“Pasti makan sama tidurnya jadi nggak teratur ya?” Tebakku kesal, tak suka caranya menyiksa diri sendiri.

Ia tersenyum tengil, “Ya gitu deh!”

“Ini kenapa lagi bercak-bercak gini kulitnya?” Aku belum puas menginterogasinya.

“Tau nih, nggak cocok kali sama udara disana!” Celetuknya mengadu manja.

Hingga aku masih menemukan tempelan plester beserta kapas itu di tangannya, masih sama seperti sebulan lalu. “Ini?!?!” Aku heran.

“Luka yang kemaren! Tau kan?” Ia berkata enteng.

Aku terkejut, “Belum sembuh juga?” Prediksiku luka itu pasti luka kecil yang tidak berarti karena hanya ditutupi plester dan kapas, namun apa mungkin selama itu sembuhnya?!?

Ia tertawa salah tingkah, “Ah nggak usah khawatir, sebenarnya udah kering kok! Cuma buat gaya-gayaan aja!” Ucapnya enteng.

Sisanya ia mengajakku beralih topik, untuk membuatku berhenti mencemaskannya. Kami berbincang seru, tentang hari-hari yang telah terlewati, tentang sahabat-sahabatnya yang ia tinggalkan. Dan saat bersamanya aku sadar, perasaan itu masih ada, walau kebohongan ini membuatku tidak nyaman bersamanya, namun getaran cinta untuknya masih tersimpan di lubuk hatiku, dan sosoknya tidak bisa tergantikan oleh Dara sekalipun. Aku masih dan akan terus cinta padanya.



“Kamu kemarin ketemuan sama Cinta?” Tanya Dara dengan nada bijak. Aku salut pada caranya menahan cemburu dengan senyum bijaknya. Ia tidak mempermasalahkan kedekatanku dengan Cinta, bahkan terkadang mendorongku untuk lebih sering menghubungi Cinta dengan alasan untuk menghindari kecurigaan pacar asliku itu. Ia sangat mengerti dengan posisinya dan ia ikhlas, ia gadis yang tidak banyak tuntutan. Ia rela menahan sakit hatinya demi memahami keadaanku. Yang ia lakukan selama ini hanyalah memberi, tanpa berharap untuk menerima balasan. Ia begitu memahamiku, aku merasa beruntung mendapatkannya disisiku. Jika Cinta tidak terganti, maka Dara juga tidak, karena mereka dua sosok yang berbeda dan sama-sama berharga.

“Iya!” Aku mengangguk, sebenarnya merasa tidak enak. “Kamu nggak apa-apa kan?”

“Terus dia curiga nggak sama kamu?” Ia malah bertanya antusias. “Sama kebersamaan kita?!?” Jelasnya lebih detail.

“Nggak! Kayaknya dia nggak curiga, dia bahkan nggak nanya-nanya lagi soal perasaanku ke dia! Mungkin dia juga udah nemuin pacar baru, kayak aku!” Aku menjabarkan, mencoba menenangkan Adara.

“Syukur deh! Terus gimana keadaannya selama ini? Sehat?” Dara terdengar tulus menanyainya, aku takjub akan kesabaran dan perhatiannya.

“Nggak tau deh, aku ragu! Sekarang dia kurus, sayu, kayak penyakitan! Aku nggak tahu dia kenapa, tapi setiap aku paksa buat cerita dia selalu ngakunya cuma kecapekan karena kegiatan kampus!” Aku mulai cemas lagi memikirkan pacarku yang satu itu. Ini tidak bisa diabaikan begitu saja, jika tidak ditindak sepertinya Cinta akan semakin melemah karena cara hidupnya yang berantakan itu.

“Ya ampun?! Mungkin dia sakit, tapi ditutup-tutupin supaya kamu nggak khawatir! Coba deh kamu lebih perhatiin dia!” Dara mengungkapkan pendapatnya, dan lagi-lagi membuatku salut dengan perhatiannya pada rivalnya itu. Dara begitu tulus, begitupun Cinta.

Aku jadi merenungi kebenaran ucapannya. Aku terfikir untuk menyelidikinya diam-diam, tanpa sepengetahuan Cinta.





Hari ini, sesuai rencanaku, aku mendatangi rumah Cinta di Jakarta. Memang sepi, seperti cerita Cinta, hari ini ia sudah kembali ke Bandung. Namun disana aku melihat satpam rumahnya. Satpam itu mengenali wajahku lalu mendekatiku, meninggalkan pos kecilnya di pinggir pagar rumah.

“Lho, mas Elegi?!? Cari siapa mas?” Tanya satpam itu.

“Cinta kemana Pak?” Tanyaku pura-pura tidak tahu pada Pak Ridwan, nama satpam itu. Memulai mengorek informasi.

“Cinta sekeluarga ke Singapura tuh mas!” Jawaban lugu pak Ridwan mengagetkanku. Cinta tidak bercerita soal Singapura, ia hanya bilang bahwa kemarin ia pulang ke Bandung. “Memang mas nggak tahu?” Satpam itu kaget dengan ekspresiku, dan kelihatannya menyesali pengakuannya.

“Cinta bukannya ke Bandung? Lho katanya!?!?” Aku memekik heran, lalu menyadari wajah Pak Ridwan panik, seperti baru saja mengucapkan rahasia terlarang. “Lho, mereka pergi kesana untuk apa pak?”

“Waduh, saya nggak tahu tuh mas! Maaf ya, saya harus lanjut kerja, pos nggak ada yang jaga!” Pamitnya terburu-buru.

Aku jadi makin curiga. Dalam hatiku berkecamuk beragam pertanyaan tentang Cinta. Aku juga kesal, kecewa, merasa dibohongi. Apa maksud Cinta berbohong begitu kepadaku? Aku marah padanya, aku memang merasa ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Cinta sekarang, dan itu membuat kepercayaanku padanya goyah. Dan sekarang kepercayaanku padanya semakin hancur lebur karena informasi ini, mungkinkah Cinta sengaja menjauhiku?!?! Mungkin Cinta memang sudah tidak menganggapku sebagai cowoknya, seseorang yang harusnya pertama kali tahu tentang apapun yang dihadapinya. Aku merasa tidak dianggap apa-apa lagi, aku merasa begitu marah dan membuat sisi lain hatiku merasa tak menyesal menduakannya. Aku pikir, toh ia juga mengkhianatiku.





Malam minggu ini aku mendatangi rumah Dara seperti biasa. Dara terlihat aneh dan murung. Ia mengajakku ke kafe tempat kami biasa menghabiskan malam minggu, sepanjang perjalanan air mukanya serius.

Dara perlahan menangis tanpa sebab, aku heran bercampur kaget, tidak biasanya dia menangis seperti ini.

“Aku, aku ngerasa berdosa banget Gi! Aku ini jahat banget!” Ujug-ujug ia berucap begitu.

“Lho, kenapa sih? Ada apa? Kok tiba-tiba ngomong gitu?!?” Kepalaku penuh kebingungan, menerka-nerka beragam sebab yang menyebabkan Dara aneh begitu.

“Aku udah jahat sama Cinta! Ternyata selama ini Cinta…” Ia menggantungkan ucapannya.

“Apa? Cinta apa? Cinta bohong sama aku soal Singapura? Ya, aku udah tahu itu!” Aku mengangguk, menyimpulkan dengan sok tahu.

Dara tercekat melihatku, “Jadi kamu sudah tahu tentang penyakit Cinta?”

Kali ini giliran aku yang terkejut, “Penyakit? Penyakit apa?” Lalu aku kembali teringat soal kondisi Cinta yang semakin lama semakin menyedihkan, aku sempat lupa hal itu.

Dara menenangkan diri, mengantur napas untuk bercerita, “Dia selama ini bukan ke Bandung! Sebenarnya yang terjadi dia divonis menderita Leukimia, lalu diboyong orangtuanya untuk berobat di Singapura!” Ceritanya kontan membuatku tersentak. Dadaku nyeri, merasa bersalah pernah berpikiran buruk tentangnya dan meragukan kesetiaannya. “Dan seperti cerita kamu dulu, dia jarang menghubungi kamu hingga kamu kira kamu digantungin! Padahal selama itu dia terus berjuang melawan penyakitnya sambil sesekali menyempatkan diri sebisa mungkin tetap memberi perhatian sama kamu! Karena itu dia nggak bisa sesering dulu menghubungi kamu!” Dada Dara naik turun emosi.

Aku pun sebenarnya luar biasa terkejut, tapi kutenangkan dulu Dara. “Lalu…soal kunjungan kemari itu?!?” Aku bertanya-tanya…

“Cinta memaksa pihak rumah sakit supaya dibolehkan mengunjungi kamu setiap bulan! Dia bahkan bela-belain pulang-pergi dengan pesawat dengan badan lemahnya itu! Demi kamu!” Dara melanjutkan. “Maaf Gi, aku nggak sebanding dengannya! Aku nggak bisa nyakitin dia terus kayak gini!”

Aku terdiam, terpikir sesuatu. “Tahu darimana kamu tentang semua ini?”

“Aku paksa Giza, sahabatnya, buat cerita ke aku!” Aku Dara. “Dan aku khawatir kunjungannya kemarin itu kunjungan terakhirnya!” Ucapnya panik.

“Maksud kamu?” Aku tertegun dengan ucapan itu…

“Penyakit Cinta sudah memasuki stadium akut! Padahal aku masih mau menemuinya, aku mau minta maaf! Aku mau bilang sejujurnya!” Dara menangkupkan tangannya ke wajah dengan stress.

Aku menyingkap tangan Dara dari mukanya. “Kita memang harus temui dia!” Ucapku mantap, membayangkan suatu rencana nekat.



Dara berhasil mendapat informasi rumah sakit dan nomor kamar tempat Cinta dirawat. Kabarnya kini Cinta melemah, hanya bisa berbaring tak berdaya.

Kini kami berdua sudah memijakkan kaki di tanah Singapura, berada di dalam rumah sakit itu. Kami mencari-cari kamar yang kami tuju, mencari sosok yang kami rindukan.



Aku membuka pintu, kuputuskan masuk duluan, Dara kusuruh menunggu diluar menunggu komandoku selanjutnya. Aku mendengar denyitan pembaca detak jantung, mengerikan, meneror, menciutkan nyaliku. Aku berharap aku salah ruangan karena begitu banyak peralatan medis yang terpasang di tubuh itu, seolah hidupnya begitu tergantung pada alat-alat itu.

“Cinta!” Aku memanggilnya, masih ragu itu sosoknya. Setelah kubaca papan data pasien, barulah aku yakin itu dia, Cintaku yang kucinta.

“Elegi!” Dia membuka matanya, tersentak. Aku pun ikut terkejut. Ia menoleh lemah ke arahku. “Nggak salah?!? Elegi?!?” Ia menggumam tidak percaya.

“Maaf aku ganggu!” Aku jadi segan, merasa tidak enak mengganggu istirahatnya. Cinta malah terduduk, aku sempat melarangnya namun lagi-lagi terenyuh dengan senyum kebiasaannya, senyum yang seolah mengatakan ‘Aku tidak apa-apa’. “Aku cuma mau minta maaf kalau…” Aku bingung harus menceritakan dari mana.

“Dara ikut?” Tanyanya dengan senyum bijak, membuat dadaku semakin mendenyit nyeri, membuat perasaanku merasa semakin bersalah.

“Iya, dia diluar!” Jawabku, kemudian menyadari kejanggalan ini. “Kenapa kamu tanya soal Dara?” Curigaku. Apa ia sudah tahu kalau…?!?

“Aku udah tau kok kalau kamu pacaran sama Dara! Maaf tapi aku sudah lama diberi tahu dari sahabatku!” Ia tersenyum, namun aku baru sadar tatapan matanya terluka. Tidak pernah aku lihat tatapannya seterluka ini sepanjang aku bersamanya. Saat itu aku baru merasa menjadi orang yang paling hina sedunia, membuat hati gadis selemah dan sebaik ini terluka dengan menduakannya, aku ini benar-benar pecundang.

“Mungkin…kamu udah tahu soal penyakitku dari awal! Aku maklum saja kalau kamu mencari gadis lain, nggak apa-apa! Itu namanya realistis Gi! Jangan mengharapkan aku, karena aku memang tidak bisa diharapkan apa-apa!” Cinta terus mengoceh. “Pilihan kamu tepat dengan meninggalkanku dan mencari pacar baru, aku memang nggak punya masa depan! Maaf selama ini aku terlalu rakus, hingga aku nggak bisa berhenti menemui dan menghubungi kamu! Itu cuma karena aku kangen kamu Gi! Aku nggak berani mengharapkan kamu, itu sama saja memberi kamu penderitaan!”

“Stop-stop!” Aku tidak tahan mendengar ocehan pesimisnya. “Bukan begitu Cinta! Kumohon izinkan aku menjelaskan!” Pintaku.

“Maaf!” Ia kembali terdiam tenang, memberiku kesempatan.

“Maafkan aku udah menduakan kamu, udah ingkarin janji aku, tapi aku sama sekali nggak tahu soal penyakit kamu ini! Kamu bahkan nggak pernah kasih tahu ke aku! Aku benar-benar pikir kamu di Bandung, aku bahkan pernah terfikir kamu sudah melupakan aku! Karena kesannya kamu ngegantungin aku! Maaf aku egois, tapi waktu itu aku merasa perhatian kamu benar-benar kurang ke aku, karena itu…aku dengan bodohnya memutuskan untuk menduakan kamu! Maaf kalau aku sempat berpikiran buruk tentang kamu!” Aku berjalan mendekatinya perlahan. Hatiku miris mendapati keadaannya yang makin menyedihkan. Ia benar-benar terlihat rapuh, dan bahkan aku sempat-sempatnya semakin merapuhkan hati rapuhnya itu. Air mataku menetes. “Aku benar-benar nggak tahu kalau kamu seperti ini! Aku emang bodoh! Kalau aku tahu, aku akan menemanimu dan nggak beranjak sedetikpun dari sampingmu, kita hadapi ini berdua. Aku akan menghabiskan sebanyak mungkin waktuku denganmu, untuk memotivasimu, memberimu dukungan! Bukan malah berprasangka buruk seperti waktu itu!” Aku menenangkan emosiku yang mulai tak terkontrol. “Jelaskan kenapa kamu menyembunyikan kenyataan ini dengan kebohongan?” Tegasku memberinya kesempatan menjelaskan.

Cinta sempat terkejut melihat air mataku, lalu ia menegaskan ekspresi wajahnya, “Kamu harus membiasakan diri tanpa aku…agar nantinya aku bisa tenang ninggalin kamu!” Ucapnya belagak acuh. Aku tertohok dengan ucapannya itu, memandangnya dengan tatapan terluka, terluka karena sikap pesimisnya.

“Kamu jangan naïf Gi! Nggak ada yang bisa menjamin kesembuhanku, bahkan bisa dipastikan umurku sudah nggak lama lagi!” Bahunya terlihat bergetar, namun matanya dipaksa tegar menyembunyikan air mata yang memaksa keluar.

“Kamu jangan pernah mengharapkanku, pilihan kamu udah benar! Dara emang orang yang tepat! Aku tahu kok dia gadis baik, gadis yang cocok untukmu!” Ucapnya menahan tangis, namun suaranya mulai bergetar. “Dan aku nggak boleh egois! Aku nggak mau menarikmu ke penderitaanku ini, aku juga nggak mau termanja oleh cintamu! Aku nggak mau berharap lebih dari apa yang bisa aku dapatkan!” Ia tak kuasa lagi membendung air matanya. Aku pun tak kuasa untuk tak memeluknya, kusandarkan kepalanya ke dadaku.

“Hidup menanggung derita bersamamu adalah kebahagiaan terbesar buat aku!” Aku tegaskan lekat-lekat kalimat itu. “Harusnya kamu lebih terbuka denganku! Kamu anggap aku ini apa? Aku masih cowok kamu, seseorang yang selalu ingin ada disisimu! Seseorang yang ingin selalu diandalkan saat gadisnya memiliki masalah! Seseorang yang…selalu mencintaimu apapun yang terjadi!” Aku menambahkan. Mata bulatnya semakin berkaca-kaca mendengar pengakuanku itu. “Aku benar-benar merasa bodoh! Aku benar-benar minta maaf Cinta, aku nggak peka dengan situasi kamu! Aku menduakanmu hanya karena egoku!”

“Apa aku masih pantas dicintai? Dengan waktuku yang singkat ini?” Ucapnya dengan bibir bergetar.

“Cinta nggak terhalang dimensi ruang dan waktu, Cinta! Bahkan maut pun nggak bisa menghalanginya! Seperti nama kamu, kamu memang terlahir untuk dicintai! Aku selalu dan akan terus mencintamu, kamu keajaiban yang nggak tergantikan di hatiku!” Aku tegaskan pemikiranku itu.

Ia tersenyum. “Kalau begitu mana Dara?” Tanyanya, kali ini emosinya mulai stabil.

Aku mempersilakan Dara masuk. Awalnya ia sempat histeris memeluk Cinta sambil meminta maaf bertubi-tubi. Namun Cinta dengan ekspresi kalemnya menenangkan Dara. Cinta bahkan mengusap air mata rivalnya itu.

“Aku nggak menyalahkan Elegi atas tindakannya ini! Seenggaknya dia jadi bisa menemukan seseorang yang benar-benar bisa memahaminya dan selalu disampingnya saat ia butuh!” Cinta menatap Dara mantap, lalu beralih menatapku. “Jaga Dara baik-baik buat aku ya!” Pesannya.

Aku dan Dara saling menatap penuh kebingungan. Cinta tersenyum maklum melihat kami. “Besok aku mau dioperasi! Yah aku sih antisipasi aja!” Cinta mengangkat bahu.



Dan ternyata itulah pesan terakhirnya untuk kami, Elegi dan Dara. Esoknya ia keluar ruangan operasi tanpa nyawa. Bahkan ia sempat meninggalkan sepenggal wasiat di mejanya. Secarik kertas bertuliskan elegi berjudul Elegi Cinta Dara



Cinta…Kuharap Elegi ini penuh dengan Cinta


Egoku menginginkan hal itu


Tapi kutahu ada Dara yang lebih tepat untuknya


Aku bagai neraka dan Dara bagaikan surga


Masa aku biarkan ia terhanyut dalam nerakaku?


Dalam kebahagiaan semuku lalu sisanya derita abadi?!?


Maka aku akan menarik diri


Cinta ini akan kuabadikan dalam museum hatiku…


Toh aku sebentar lagi mati…


Toh Elegi bisa bahagia bersama Dara itu…



Biarlah Cinta mengabadikan dirinya dalam Elegi ini


Dan membiarkan Dara ada diantaranya


Biarkan cinta menjadi kenangan terindah dalam hidup mereka, bukan goresan luka…


Semoga saat mengingatku nanti kalian bukannya menangis penuh derita


Tapi tersenyum bahagia…


Karena Cinta selalu ada di hati kalian…


Dari Cinta yang berharap selalu dicintai…